Selasa, 24 Juni 2014

asal usul dayak Taman Kapuas Hulu



BAB III
Asal Usul Daya Taman Dalam Cerita Rakyat
A.    Cerita kejadian manusia pertama
Orang taman,sebagaimana juga orang daya lainnya sepanjang yang diketahui sampai kini tidak mempunyai tulisan sendiri dan baru mulai mengenal tulisan setelah adanya sekolah misi Katolik. Oleh karena itu, sejak dulu yang bersifat sejarah dan adat yang hidup disampaikan secara lisan dalam bentuk cerita dari generasi ke generasi berikutnya, dari kakek/ nenek kepada cucunya atau orang tua kepada anak – anaknya. Dalam cerita rakyat yang diketahui oleh pada umumnya orang Taman di ceritakan bahwa setelah Alaatala’ menciptakan (manyunyua) langit dan bumi serta berbagai isinya, Alaatala menungaskan memberi kuasa pada Sampulo untuk membuat manusia sesuai dengan gambaran  diri pribadi Sampulo dan mengajar manusia tentang hidup. Menurut orang taman, Alaatala itu panyunyua, artinya hanya dengan kehendaknya segala sesuatu terjadi seketika tanpa bahan dan alat. Dia berupa roh kekal dan dianggap sebagai sumber keselamatan bagi manusia. Tidak ada persembahan terhadapnya, kecuali doa untuk meminta agar hidup hidup selamat, terhindar dari penyakit dan marabahaya, juga merupakan tingkatan akhir dan tertingi ketika manusia memohon keselamatan. Persemabahan sesajen dilakukan, misalnya terhadap roh – roh halus yang dianggap sebagai dewa – dewi dan leluhur saja, bukan terhadap Alaatala. Kepercayaan terhadap Alaatala ini menurut orang taman sudah ada jauh sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, Katolik dan Protestan.
Sebelum Sampulo melaksanakan tugas ia merasa perlu mempunyai teman untuk membantunya. Unutk itu, dia menoreh sedikit tangannya hingga berdarah. Darah itu dikibas dari tangannya dan seketika itu juga muncul seorang laki – laki yang tampan bernama Kunyanyik yang di anggap sebagai suami dari Sampulo. Orang taman biasanya menyebut piang Sampulo dan bai Kunyanyik. Sampulo turun kebumi di suatu taman yang sangat indah penuh dengan berbagai macam bunga dan pohon buah – buahan. Di taman itulah sampulo bersama suaminya membuat manusia pertama berpasangan, yaitu seorang laki – laki dan perempuan. Di sekitar taman itu terdapat tanah subur dengan berbagai macam tumbuh – tumbuhan dan di situ juga hidup berbagai macam hewan. Mereka memilih tempat itu agar manusia pertama dan ketuturannya senang tinggal di daerah itu tidak kekurangan makanan. Untuk beberapa lamanya Sampulo dan Kunyanyik hidup bersama dengan pasangan manusia pertama untuk mengajar mereka tentang adat tio’, yaitu pengetahuan tentang bagaimana seharusnya hidup dijalani oleh manusia selama hidup dibumi dan setelah meninggal. Setelah itu Sampulo dan suaminya kembali ke langit lapisan delapan, tetapi mereka tidak pernah menyebut menyebut masing – masing dari lapisan langit tersebut. Yang masih mereka ingat hanya lapisan langit pertama sampai lapisan ketiga yaitu suan, suan selo , dan suan badulang. Tempat yang indah yang disebut dalam cerita ini adalah terletak di bagian hulu Sungai Kapuas sebelah kanan mudik dan di perkirakan antara Sungai Balang dan Riam Balunkaan ( riam ini dikenal juga dengan nama “ Riam Pampit Nasi” ). Ditempat inilah Sampulo dengan dibantu oleh suaminya melaksanakan tugas membuat pasangan manusia pertama itu.
Yang terakhir diajarkan oleh Sampulo dan suaminya adalah kehidupan kekal sumangat ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, tempat kebahagian abadi penuh suka cita dalam ruang yang indah gemerlapan. Kedua, tempat kesengsaraan abadi penuh pertengkaran dan perkelahian dalam ruang yang kotor.
Yang mengadili dan menempatkan sumangat seseorang yang telah meninggal dunia masuk ke salah satu tempat abadi itu adalah Iyangsuka makhluk ciptaan Alaatala yang bersifat roh berupa manusia. Menurut beberapa informan, terutama dari Baromas Jabang Balunus salah seorang tokoh daya, yang bersangkutan adalah Daya Taman bahwa berbagai tempat penting yang harus dilewati atau disinggahi oleh sumangat orang yang baru meninggal antara lain sebagai berikut.
a.      Tingkado’an sumangat tu mate, artinya tempat sumangat orang meninggal melompat dari perahunya kedaratan untuk memulai perjalanan menghadap Iyangsuka menuju tempat tinggal abadi.
b.      Kemudian sumangat harus menyeberangi danau kambugain dengan memakai peti mayat sebagai perahu.
c.       Setelah itu, sampai ditempat yang disebut Paembangembangan Pana’napisan.
d.      Selanjutnya, sampai di Batang Sapali sebuah gelondongan kayu (batang) yang melintangi jalan seperti ular dapat menegecil dan membesar.
e.       Dari situ sumangat pergi kebukit tilung dan mendaki sampai kepuncaknya.
f.        Setelah sampai ke puncak bukit Tilung menuju tempat Dom Sampung, yaitu suatu tempat yang gelap gulita (Dom = gelap, sampung = sementara).
g.      Kemudiaan menuju Pondo’an Bunga suatu taman yang penuh dengan berbagai jenis bunga yang indah dan harum baunya.
h.      Dari taman bung in i menuju tempat piang parukruk ulu, yaitu seorang nenek tua yang kerjanya setiap hari adalah menenam berbagai tanaman seperti tebu, keladi, ubu kayu, dan ubi rambat untuk memberi makan setiap Sumangat sebab di tempat ini sumangat sudah lapar dan haus.
i.        Setelah itu, sumangat menuju tempat piang parapak ku’kurak (parapak= orang menyiangi,ku’kurak = kura- kura), seorang nenek yang mau kerja keladang.   
j.        Dari parapak Ku’kurak pergi ketempat piang sinsiung amas seorang nenek yang mempunyai kebun buah – buahan tidak jauh dari rumahnya. Piang siung amas ini diberi kuasa oleh Alaatala untuk menyuruh sumangat meneruskan perjalanannya melalui jalan cabang kiri jalan kematian atau menyuruh sumangat kembali melaalui cabang jalan kehidupan seperti pada cerita percintaan Sulingbunyo dan Bungaelo ini.
k.       Sumangat  yang disuruh mengikuti jalan cabang kiri itu mula – mula sampai ke tempat Palelentean Uwe Sa, yaitu suatu titian dari seutas rotan (uwe).
l.        Akhirnya, sumangat sampai dirumah panjang soo tempat iyangsuka tinggal. Ditempat ini ramai oleh sumangat orang makan minum bersama, bergembira menyambut kedatangan sumangat orang yang baru meninggal.
m.    Benua So’soak dan Banua Ti’asu. Kedua tempat ini merupakan tujuan terakhir perjalanan sumangat dari orang meninggal.

B.     Asal Usul Orang Taman
Dalam cerita rakyat dikatakan bahwa dari keturunan Idi’ilangilangsuan dan Tinak ( yang dianggap nenek moyang umat manusia) yang sudah begitu banyak setelah sekian lama manusia hidup didunia ini terdapat di antaranya sepasang suami istri, yaitu Sapinangsalowe dan Indusia’ ini di anggap oleh orang Taman sebagai awal mula adanya orang Taman atau dengan kata lain nenek moyangorang Taman. Oleh karena itu, orang Taman menyebut mereka dengan sebutan kakek (bai’) dan nenek (piang). Mereka mempunyai delapan orang anak terdiri dari tujuh orang laki – laki dan satu orang perempuan. Keluarga ini termasuk yang selamat, karena membuat rakit ketika terjadi bencana alam berupa air bah yang menutupi permukaan bumi bahkan gunung – gunung tinggi juga tertutup air ( rabon aek ). Bai’ SapinangSalowe itu orang pintar tahu melihat pertanda alam. Disamping itu, ia diberi Alaatala kemampuan untuk meramal berbagai peristiwa penting yang akan terjadi. Oleh karena itu, sebelum air bah datang, ia sudah mengetahui bahwa akan terjadi air bah datang, ia sudah mengetahui akan terjadi iar bah dan ia sudah menyiapkan rakit besar sebelum terjadi air bah. Ia memberi tahukan pada orang bahwa kemungkinan dalam waktu dekat akan terjadi banjir besar dan mengajak untuk membuat rakit. Akan tetapi ia diejek dan dianggap melakukan perbuatan sia – sia saja. Ia tidak ambil peduli dengan pembicaraan orang – orang yang menggangapnya sebagai orang aneh, sebab ia yakin akan terjadi banjir besar yang menyusahkan manusia. Pada saat air bah datang, semua binatang peliharaannya, berbagai tanaman dan semua bahan makan sudah dinaikkan kedalam rakit dan mereka juga naik kedalam rakit menyelamatkan keluarga itu. Ketika air surut kembali, ternyata mereka tidak lagi berada ditempat mereka dulu pernah tinggal,karena selama air bah itu mereka terbawa oleh arus dan angin. Mereka dan rakit pada air surut kandas disuatu tempat yang sekarang ini disebut Sekadau.    Di daerah Sekadau tersebut ada sebuah anak sungai yang dinamakan Sungai Taman,anak sungai Kapuas. Dinamakan demikian untuk mengenang bahwa tempat itu adalah tempat dimana pertama orang Taman setelah air bah. Sapinangsalowe membuat perumahan di pinggir yang sekarang dinamakan sungai taman. Orang Taman dulu  memang pernah tinggal disekitar Sungai Tamandaerah sekadau, kemudian terdesak oleh pendatang orang melayu dan juga orang cina kepedalaman daerah Kapuas Hulu. Orang melayu datang untuk menyebar agama islam, berdagang dan bercocok tanam. Sedangkan orang Cina datang untuk berdagang dan bercocok tanam. Orang Melayu dan orang Cina berusaha untuk menguasai berbagai tempat yang potensial pertumbuhan ekonomi di sepanjang pantai dan pinggir sungai yang bertanah subur, tempat banyak barang tambang dan banyak ikan. Di beberapa daerah tempat orang Taman pernah bermukim masih terdapat peninggalan berupa bekas tiang rumah panjang dan pohon buaah – buahan. Misal didalam tanah Sula dalam wilayah Bika’masih terdapat peninggalan berupa tiang rumah panjang di tengah – tengah danau Sula untuk pertahanan dari serangan musuh. Bika’ terletak 17 km dari Putussibau melalui jalan darat. Menurut orang Taman nama Bika’ berasal dari sebutan orang Taman, yaitu baika’, artinya kakek kita. Sebutan itu untuk menunjuk bahwa dulu orang Taman pernah bertempat tinggal di daerah itu. Kemudian disebuah pulau kecil di nanga Sungai Sibau terdapat banyak pohon buah – buahan peninggalan orang Taman pada saat bertempat tinggal di daerah itu.
Kampung Banuasio, Sauwe, Samangkok, Malapi, Ingkoktambe, Sayut dan Uranguansa merupakan kampung tempat  tinggal menetap orang Taman sekarang ini. Kapan menetap tinggal dikampung itu tidak diketahui dengan pasti. Yang dapat diketahui adalah sebelum pemerintahan kolonial Belanda di daerah Kapuas Hulu, orang Taman yang lain, yang kemudian lebih sering disebut dengan ‘nama sungai’ mereka tinggal sebagai pengenal nama suku, tersebar di sepanjang Sungai Embaloh, Lauk, Palin, Leboyan, Mandai, Kalis, dan Paniung.
Kembali dengan cerita Sapinangsalowe, setelah membuat rumah, menanam berbagai tanaman dan menncarikan tempat ternak, kemudian bersama tujuh orang anak laki – laki merantau (manamowe) berkeliling dunia selama puluhan tahun. Dalam cerita dikatakan bahwa mereka meratau sampai ke pinggir langit (ka’kapi’suan). Dalam perjalanan mereka terlindung panas matahari dan hujan karena selalu di ikuti oleh Anaklalung (disebut juga dengan Lindap), yaitu sekelompok awan gelap yang berada tidak jaug dari kepala mereka. Setelah mereka memperoleh banyak barang seperti pakaian, perhiasan dan peralalatan rumah tangga barulah mereka kembali ke kampung. Kemudian semua barang hasul mereka merantau itu oleh Sapinangsalowe dibagikan kepada delapan anaknya. Anak perempuan satu – satunya bukan hanya mendapat barang tetapi juga mendapat Anaklalung untuk melindunginya dari panas dan hujan pada saat ia bekerja diladang. Hal itu membuatnya tambah rajin, ulet dalam bekerja dan tambah cantik sampai saat menjadi tua. Dengan demikian walaupun anak perempuan tidak pergi merantau seperti laki – laki, ia dapat membeli berbagai keperluan hidup dengan hasil ladang yang ia peroleh.
Dari sekian banyak harta yang sangat berharga, yaitu sebuah buku yang berisi ajaran adat hidup ( adat’tio) yang berasal daripiang Sampulo dan Bai Kunyanyik. Buku itu dibungkus dengan bagian ujung cawat yang dipakai Sapinangsalowe. Pada waktu ia berenang menjadi basah dan hancur seperti bubur. Ia berusaha untuk mengembalikan buku itu dengan menjemur buku itu,tetapi ketika buku yang sudah hancur itu mulai kering tiba – tiba bertiup angi kencang menerbangkan lembaran buku – buku yang tidak utuh lagi itu dan pada saat itu juga menjelma menjadi burung. Karena itu, orang Taman percaya bahwa ada burung yang dari arah terbang atau suara dianggap sebagai petunjuk baik dan buruk kepada manusia tentang hasil atau akibat dari suatu pekerjaan.
Cerita tentang Sapinangsalowe dan Indusia’ ini menunjukkan bahwa orang taman menyadari bahwa setiap suku bangsa memounyai sejarah masing – masing termasuk Taman sendiri. Pesan yang terkandung dalam cerita ini antara lain perlunya persiapan untuk menghadapi berbagai hal yang akan terjadi. Diperlukan sikap kecintaan tidak saja kepada diri sendiri, tetapi semua orang termasuk hewan dan tumbuh – tumbuhan sebagaimana dilakukan oleh Sapinangsalowe yang merantau (manamowe)  jauh bersama ketujuh anak laki – lakinya merupakan pengajaran bagi laki – laki orang Taman untuk juga pergi merantau.
Setelah orang tua kedelapan bersaudara itu meninggal, mereka kehilangan pemimpin dalam kehidupan bersama mereka. Ternyata delapan bersaudara itu , yaitu Tali adik beungsu mereka, mereka sanagt berambisi menjadi pemimpin sebagai pengganti orang tuanya. Sebagai adik bungsu, ia begitu disayangi oleh saudara – saudaranya yang sering mengalah untuk memenuhi keinginannya. Untuk mewujudkan ambisinya itu, ia mengajak saudara – saudaranya menuba ikan disebuah danau yang cukup  jauh dari rumah dari orang tua mereka tempat mereka tinggal. Tidak ada yang tidak setuju karena musim kemarau air danau dalam keadaan dangkal dan saat yang sanhggat tepat untuk menuba ikan. Sesampai mereka di danau mereka langsung menuba dan ikan nya sangat banyak sekali. Menjelang malam hari si bungsu mengajak saudara – saudarnya membuat pondok kecil untuk tempat mereka berlindung dimana hujan turun. Namun ajakan si bungsu di tertawakan oleh saudara – saudaranya sebab tidak ada sama sekali tanda – tanda hujan turun. Sambil bergurau mereka menunjuk ke langit biru bahwa langit biru itulah atap mereka,sambil terus mengumpulkan ikan. Ternyata si bungsu membuat pondok juga walaupun saudara – saudaranya memandang tidak perlu membuat pondok. Setelah pondok selesai bilamana hujan turun akan ada seseorang yang masuk kepondok tersebut berarti bersedia di pimpin oleh Tali. Karena tidak ada melihat tanda – tanda cuaca buruk dan si  bungsu juga tidak sungguh dengan apa yang dikatakannya dan semuanya menyetujui pernyataan itu. Saudara – saudaranya ini tidak mengira sama sekali bahwa Tali licik dan memang ingin menjadi pemimpin. Si bungsu merendam batu keramat (batu barani) peninggalan ayah mereka pada waktu hari mulai gelap tanpa setahu saudara – saudaranya. Batu keramat itu kalau direndam akan membuat cuaca menjadi sangat buruk. Tidak lama kemudian hujan lebat disertai angin kencang , petir dan guntur. Karena cuaca buruk dan hari pun sudah malam mereka tidak bisa kembali kerumah dan tidak dapat membuat pondok untuk tempat berlindung. Mula – mula mereka bertahan diluar karena mereka baru tahu bahwa tali benar – benar dengan peryataannya. Akan tetapi Tan sebagai saudara tertua mengajak dan berunding dengan saudara lainnya untuk masuk ke pondok Tali terutama kasihan terhadap saudaranya yang perempuan. Pulok tidak setuju dengan ajakan Tan karena persyaratan yang dibuat Tali itu di anggap tidak patut. Seharusnya dan yang di anggap patut sebagai pemimpin adalah Tan saudara tertua mereka. Oleh karena itu, ia tetap bertahan diluar di pinggir pondok . yang lima orang mengikuti saja ajakan Tan dan bergabung dengannya karena taat pada saudara tertua dan menggangapnya sebagai pemimpin. Akan tetapi dengan begitu mereka terjerat oleh pernyataan Tali dan dengan demikian Tali lalu menjadi pemimpin mereka semua, kecuali terhadap pulok. Pada malam itu juga Tali mengajak saudaranya menghitung bintang di langit di muali dari yang tertua berurutan. Mereka juga setuju dengan anggapan ini karena dianggap lucu dan menyenangkan. Sebelum itu Tali engambil batu keramat yang direndamnya dan seketika itu cuaca menjadi baik, bintang dilangit kelihatan sangat jelas. Mereka membuka sabagian atap pondok agar dapat melihat dengan jelas kelangit. Mereka menerima saja kekalahan dalam menghitung bintang, kecuali Tali karena pada saat gilirannya hari hampir subuh (anada uko) dan bintang yang masih terlihat masih sedikit. Mereka menerima saja kekalahan dengan maksud supya adik bungsu mereka senang, walaupun mereka tahu bahwa bintang banyak itu sudah tidak kelihatan lagi karena sudah mulai terang. Rupanya, kemenangan yang dihitung oleh Tali untuk memperkuatnya jadi pemimpin. Pulok juga tidakikut lomba menghitung bintang, sebab gagasan itu dianggapnya aneh dan mustahil dilakukan. Oleh karena itu Tali hanya menjadi pemimpin terhadap kelompok Tan saja, tidak termasuk Pulok. Perpecahan diantara mereka bersaudara inilah yang di pandang sebab terbaginya mereka ats tiga golongan keturunan (kanturun), yaitu kelompok Tan menjadi “Banua” dengan keturunan disebut kanturun “banua , Pulok menjadi  golongan “Pabiring” dengan keturunan  disebut kanturun “Pabiring” dan Tali menjadi golongan “ samagat” dengan. Bagaimana orang Taman melihat keberadaan tiga golongan keturunan ini, tergambar dalam ucapan mereka sendiri sebagai berikut : Ingki’in nin serta tamatoa jolo ki,’ ampua bai’ Sapinangsalowe nana piang Indusia’ ki, anjauki’ tu ilenang, ko’ poang injua, si kule’ anakan ara lapan parin tabarikan, ta talu kalea ( kita ini satu nenek moyang, cuci dari kakek Sapinangsalowe dengan nenek Indusia’, tidak ada yang dibedakan, hanya karena anak mereka delapan bersaudara tidak cocok maka mereka membagi diri dalam tiga golongan). Dari ucapan ini jelas bahwa keberadaan ketiga golongan itu selamata – mata merupakan pembagian saja, bukan pemisahan dan juga bukan suatu pelapisan diantara banua banua, pabiring,dan samagat. Dan ucapan seperti anjauki’tu ilenang ( tidak ada yang dibedakan diantara kita ) itu menuntun saya pada pandangan bahwa masyarakat Taman lebih tepat dilihat sebagai masyarakat yang pada dasarnya berstruktur egaliter.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar